Sabtu, 20 Juli 2013

Penyihir Berdarah Campuran

Karya : Putri Tania M.S

Aku terbangun saat mobil yang kutumpangi berhenti. Perlahan, aku membuka mataku yang terasa sangat berat. Samar-samar aku mendengar suara yang saling berseru dengan hebohnya, membuat rasa kantukku yang masih tersisa menguap begitu saja. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu memandang keluar.

“ayo Lucy! Kita sudah sampai.”

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Aku merentangkan tubuhku yang kaku karena tidur selama 15 menit di mobil, Lalu turun dari mobil setelah adik-adikku turun lebih dulu. Angin musim semi langsung menerpa tubuhku yang hanya berbalut kemeja tipis –seragam sekolah—tanpa blazer setelah aku keluar dari mobil. Musim semi baru datang seminggu yang lalu sehingga hawa musim dingin masih terasa.

“bagaimana menurut kalian?”
“keren!” seru kedua adikku semangat.
“ayo, masuk!”

Aku menatap bangunan yang berdiri didepanku. Rumah berwarna putih gading itu berlantai dua. Ada dua pilar utama yang menyangga balkon lantai atas yang menghadap ke halaman depan. Taman berukuran kecil yang sedang di penuhi oleh bunga-bunga musim semi.  Dua pohon cemara yang tumbuh disisi kanan dan kiri rumah. Aku mulai menyukai rumah ini.

Aku mengedarkan pandangan. Rumah-rumah lainnya juga persis dengan rumahku, hanya berbeda warna saja, dan bentuk pagar. Namun pada umunya, pagar rumah disini hanya setinggi pinggang. Kecuali tembok yang memisahkan dengan rumah sebelah. Lumayan tinggi. Meskipun begitu, aku yakin hubungan antar tetangga terjalin dengan baik. Ya, walaupun saat ini tidak ada satupun orang diluar.

“Lucy! Kenapa kau masih beridir di sana?”

Aku menghentikan pengamatanku pada kawasan tempat tinggalku yang baru ini saat mendengar suara Ibuku. Aku menoleh ke pintu masuk dan mendapati Sarah –Ibuku—tengah berkacak pinggang dan menatapku tajam. Sambil mendengus, aku berjalan menuju pintu masuk.

“berhenti bersikap seperti ini! Kalau kau memang tidak menyukainya, berpura-puralah sedikit! Aland bisa tersinggung.”
Aku mendesah, lalu mengacak rambut blondeku putus asa. “Mom, berapa kali harus kukatakan? Aku menyukai Aland!”
“tapi kau tidak pernah membuktikan ucapanmu! Kau selalu bersikap dingin padanya juga anak-anaknya!”
“aku tidak begitu!” bantahku tegas. “sudahlah! Aku lelah! Dimana kamarku?”
Sarah semakin kesal karena aku menghindari percakapan ini, tapi dia tetap menjawab. “lantai dua, pintu pertama. Arah depan.”
Aku tak bisa menahan seringai senangku. “baiklah!”

Saat Aland akan membeli rumah, aku memang mengatakan padanya kalau aku ingin kamar dilantai dua yang menghadap kedepan. Aku tak menyangka kalau dia mengabulkan permintaanku, padahal aku jarang bahkan hampir tidak pernah berbicar dengannya. Baru bicara lebih dari lima kata saat meminta kamar itu. Semua barang-barang dirumah lama sudah di antar kemarin malam, tapi kami baru pindah hari ini, setelah aku pulang sekolah.

Aku melintasi ruang tengah yang dindingnya berwarna hijau muda membuat ruangannya terasa lebih luas. Ruang tengah sendiri sudah rapi. Meja dan bangkunya sudah tersusun meskipun disudut ruangan masih ada kardus-kardus yang belum dibuka. Sepertinya mereka sengaja membereskan ruangan ini terlebih dahulu. Bagaimana dengan kamarku?

“Lucy! Kau mau bergabung?” tanya Alex sambil mengangkat papan monopolinya.
“Dia terlihat lelah, biarkan dia istirahat.” Jawab Aland. “bukankah begitu, Lucy?”
Aku mentap wajah Alex dan Alexa yang terlihat penuh harap, lalu kembali pada Aland. Kapan lagi aku bisa membuktikan pada Ibuku kalau aku memang meyukai Aland? “sepertinya monopoli menyenangkan. Tapi aku ingin berperan sebgain bank. Setuju?”
“setuju!” seru Alex dan Alexa bersamaan.
Aland menatapku tak percaya. “kau serius?”
Aku mengangguk. “beri aku waktu lima menit. Aku ingin ganti pakaian.”
“kau tahu kamarmu? Lanta dua, pintu pertama.”
Aku menatap Aland sambil tersenyum. Senyum pertamanya. “okay, dad.”

Ibuku, Sarah, dia menikah dengan Aland dua bulan yang lalu. Tapi mereka sudah berhubungan lebih dari dua tahun. Dimana, Aland berstatus duda dengan dua anak. Alex dan Alexa. Selisih umurku dengan dua bocah kembar itu lima tahun. Istri Aland meninggal saat melahirkan kedua anaknya. Sedangkan ayahku, meninggal 7 tahun yang lalu.

Sarah salah besar karena menuduhku tidak menyukai Aland juga anak-anaknya. Aland orang yang menyenangkan, begitupun Alex dan Alexa. Dua bulan belakangan aku sangat sibuk dengan urusan sekolah membuatku tidak bisa benar-benar bicara dengan Aland. Kami hanya bicara saat sarapan, itupun jika aku sarapan dirumah. Kadang, karena terlalu sibuk, aku bahkan melewatkan makan malam. Aku harus belajar untuk ujian semester dan Sebentar lagi, sekolahku akan mengadakan festival musim semi, sehingga aku yang terdaftar sebagai anggota, harus memikirkan banyak hal menyangkut festival itu sendiri. Karena itulah Sarah selalu mencecarku tentang sikpaku yang tidak bisa menerima kehadiran Aland.

Pada awalnya aku memang tidak bisa menerima, karena aku sudah terbiasa hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Sehingga aku butuh penyesuaian diri. Selama dua tahun mereka berhubungan, aku mencoba menerima kehadiran Aland dan anak-anaknya. Hingga akhirnya aku mengerti kenapa Sarah bisa menyukai Aland. Aland bisa menjadi teman bagi Sarah, juga bisa mempesosisikan diri sebagai pelindung Sarah, orang yangg mencintai Ibuku. Aku bisa melihatnya saat Aland berkunjung ke rumah lama kami, meskipun aku tidak berbicara dengannya sama sekali. Aku yakin, dia bisa membuat hidupku dan Ibuku kembali berwarna sperti dulu.

“NOOOOO!!!!” teriakan Frustasi milik Alexa kemabli menarikku pada kenyataan. “aku tidak ingin masuk penjara!”

Aku terkekeh lalu merebahkan kepalaku di sandran sofa. Aku benar-benar lelah membuatku ingin tidur saat ini juga. Perlahan mataku mulai terpejam dan suara disekelilingku mulai mengecil, hingga aku tidak mendengar apapun lagi. Semuanya terasa damai. Inilah yang kuharapkan dari tadi.

oOoOoOoOoOo

AUTHOR’s POV

Lucy turun dari bus yang membawanya dari sekolah begitu bus itu berhenti di halte di dekat gerbang perumahannya. Dia memperbaiki posisi tali ranselnya begitu melihat laki-laki berjaket abu-abu itu ikut turun.

Sudah seminggu belakangan ini, laki-laki itu berjalan dibelakangnya setiap pulang sekolah. Membuatnya benar-benar curiga. Namun, setelah dia perhatikan sejak dua hari yang lalu, laki-laki tersebut langsung hilang begitu dia tiba di depan pagar rumahnya. Laki-laki itu tidak mungkin tetangganya, karena dia sudah hafal wajah tetangga barunya meskipun dia baru tinggal sebulan dikawasan itu.

Lucy kembali mengintip lewat bahunya, dan mendapati laki-laki itu masih mengikutinya. Dia ingin berbalik lalu menghadang laki-laki tersebut, tapi dia tidak seberani itu. Apalagi, sekarang tidak ada satupun tetangganya yang diluar karena masih jam dua siang. Mereka biasanya keluar saat jam empat atau lima sore.

Tenang Lucy, satu rumah lagi, kau akan sampai dirumah. Lucy menyemangati dirinya sendiri.

Dia menghembuskan nafas lega begitu dia telah berada di balik pagar rumahnya dan laki-laki itu sudah menghilang. Tapi, disaat bersamaan, dia juga penasaran kemana perginya laki-laki itu. Lucy memberanikan diri keluar dari pagar dan menoleh kearah jalan yang dilaluinya tadi. Tidak ada siapapun.

“aku pulang!” seru Lucy begitu dia memasuki rumah. Dia membuka sepatunya, lalu menggantinya dengan sendal rumahan.
Aland muncul dihadapannya dengan kening berkerut. “ini akhir pekan, kenapa kau pulang selama ini? Kau terlambat dua jam!”
Lucy terkekeh. “Maaf, Dad. Aku tadi bermain dengan temanku. Sekarang, aku ingin ganti baju.”
Aland menggelengkan kepalanya tidak setuju. “aku tidak akan membiarkanmu mengundur makan siang lebih lama lagi! Ayo ke ruang makan sekarang!”
Mau tidak mau, Lucy tertawa melihat tingkah ayah tirinya itu, dan membiarkan tubuhnya diseret menuju ruang makan.

Sarah tersenyum ketika melihat Lucy masuk ke dapur bersama Alnd sambil tertawa. Semenjak mereka tinggal dirumah baru, hubungan mereka berdua terlihat lebih baik. Lucy lebih membuka diri pada ayah barunya itu. Mungkin memang kesibukan putrinya itu yang membuatnya tidak punya banyak waktu untuk berbicara dengan Aland.

“Apa yang kalian tertawakan?” tanya Sarah penasaran.
“ini rahasia kami.” Ujar Aland sok misterius.
Lucy mengangguk setuju. “benar. Rahasia antara ayah dan anak.”
Senyum Sarah semakin lebar. “baiklah. Aku tidak akan mencari tahu. Sekarang saatnya makan siang,”

Selesai makan siang, Lucy pamit ke kamarnya. Dia ingin ganti pakaian, lalu mengerjakan laporan hasil rapat tentang keseluruhan acara di festival musim semi, yang akan dilakukan minggu depan. Dan laporan itu harus diserahkan besok.

Lucy nyaris berteriak ketika melihat ada orang yang duduk di atas tempat tidurnya kalau saja dia tidak cepat membekap mulutnya sendiri. Dia bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia benar-benar berteriak. Semua orang akan panik.

Setelah beberapa detik berlalu yang terasa sangat lama, Lucy mulai menguasai diri. Orang di depannya ini adalah laki-laki yang selalu mengikutinya setiap pulang sekolah. Dia dapat mengenalinya dari jaket abu-abu yang dikenakan orang itu. Sekarang, dia dapat melihat wajah laki-laki tiu dengan jelas. Wajahnya putih tanpa cela, hidung yang mancung, rambutnya berwarna hitam selaras dengan bola matanya, bibirnya berwarna pink lembut membuatnya bertanya-tanya apa laki-laki itu memakai pewarna bibir?

“kau sudah menatapku lebih dari satu menit tanpa berkedip sama sekali.”

Suara berat namun terkesan dingin milik laki-laki itu membuyarkan lamunannya. Dia mengutuk diri sendiri karena sudah terpesona pada seorang penyusup. Lucy mengumpulkan fokusnya yang berceceran kemana-mana, lalu menatap laki-laki didepannya tajam.

“kau siapa? Bagaimana bisa kau masuk ke kamarku? Dan apa yang kau lakukan disini?”


Laki-laki itu mentap jendelanya yang terbuka, membuatnya mengerti bagaimana laki-laki penyusup ini bisa masuk kekamarnya. Dia memang selalu membuka jendela kamarnya setiap hari dan baru akan menutupnya saat akan tidur.

“siapa namamu?” laki-laki itu tidak menjawab pertanyaannya dan melontarkan pertanyaan yang tidak disangkanya sama sekali.
“kau belum menjawab pertanyaanku.” Balas Lucy dingin.
“aku tidak ingin membuang waktu.” Tukas laki-laki itu tajam. “jadi, katakan apadaku. Siapa namamu?”
“Lucy.” Jawab Lucy singkat. “sekarang jawab—“
“nama lengkap?” potong laki-laki itu.
Lucy mengerang. “siapa kau sebenarnya? Apa yang kau lakukan dikamarku, hah?!”
Laki-laki tidak menjawab, dan hanya menatpnya dengan tatapan datar.

Lucy mengutuk dalam hati. Putus asa karena laki-laki di hadapannya ini keras kepala dan tidak berniat menjwab pertanyaannya sama sekali. Berbagai kemungkinan merasuki pikirannya. Dia sedang tertidur di bis yang akan membawanya pulang, atau dia tertidur pada saat rapat yang membahas tentang festival musim semi atau jangan-jangan dia tertidur di meja makan?

“Luciana Kim.” Jawab Lucy akhirnya. Menerima dengan pasrah kalau dia tidak dalam keadaan bermimpi.
Laki-laki itu terlihat kaget. “benarkah?”
“Sebenarnya Kim adalah nama keluarga ayah tiriku. Jika ayah kandungku masih hidup, namaku Luciana Asvathama.” Lucy bingung sendiri kenapa dia harus menjelaskan hal itu pada laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali.
Meskipun terlihat semakin kaget, laki-laki itu juga tidak bisa menutupi ekspresi bahagianya. Namun, saat berbicara dia kembali memasang wajah dingin dan tak bersahabatnya. “temui aku besok di taman perumahan, jam empat sore.”

Setelah mengatakan hal itu, laki-laki tersebut berjalan menuju jendela kamarnya, lalu melompat begitu saja. Namun anehnya dia tidak mendengar suara sesuatu yang jatuh dibawah sana.

Lucy, kau tidak gila, kan?

oOoOoOoOoOo

Lucy mengedarkan pandangannya begitu dia memasuki taman kompleks yang terletak di utara perumahan. Taman cukup luas. Ada berbagai permainan yang bisa dimainkan anak kecil. Mulai dari ayunan, seluncuran dan banyak lagi. Di tengah taman ada kolam buatan dengan air mancur di tengahya. Dia mencoba mencari keberadaan laki-laki penyusup itu di tengah keramaian dan anak-anak berumur lima tahun yang sibuk berlari kesana-kemari.

Setelah lima menit terbuang percuma, akhirnya dia menemukan laki-laki itu. Dia sedang berdiri di bawah pohon di sudut taman, yang tidak di jajah anak-anak. Tatapan tajam laki-laki itu tertuju padanya membuatnya bergidik seketika. Aku pasti sudah gila karena datang kesini!

“kenapa kau menyuruhku kesini?” tanya Lucy langsung begitu dia tiba dihadapan laki-laki itu.
“kau sudah pamit pada orang tuamu?”
Lucy mengerutkan kening, tapi dia tetap mengangguk. “aku tidak bisa berlama-lama karena harus membuat ornamen untuk festival.”
Laki-laki itu mengulurkan tangannya. “pegang tanganku.”
Lucy mendengus. “kau ingin memegang tanganku? Cih! Caramu tidak bermutu!”
Laki-laki itu melemparkan tatapan tajamnya pada Lucy membuatnya terdiam. “baiklah.”

Lucy terkejut saat merasakan kehangatan mengalir ditubuhnya saat dia menggenggam tangan laki-laki itu. Hal itu sangat aneh, mengingat wajah dan cara bicaranya yang dingin. Danlebih aneh lagi, saat Lucy mendapati dirinya menuruti perintah laki-laki itu.

Lucy mengerutkan keningnya saat melihta laki-laki disampinya ini memukul beberapa bagian dari pohon di depan mereka dengan tangannya yang bebas. Tak lama kemudian pohon itu bergerak, terbelah dua membuat Lucy melongo seperti orang bodoh. Tapi hanya ada kegelapan disana.

“ayo!”
Lucy tersentak dan tidak mau bergerak. “kau mau membawaku kemana? Kesana? Kedalam kegelapan itu?”

Tanpa menjawab, laki-laki itu langsung menarik tangan Lucy sehingga gadis tersebut ikut masuk ke dalam pohon itu. Mereka berdiri di tengah pohn, dan perlahan pohon itu menutup. Membuatnya semakin menggenggam tangan laki-laki itu.

Saat pohon itu tertutup sepenuhnya, Lucy menutup matanya rapat-rapat. Tak sampai sepuluh menit, angin sejuk membelai wajahnya. Dia dapat mencium bau pohon-pohon yang daunnya baru tumbuh, wangi tanah yang basah karena terkena air –mungkin huja atau embun— juga wangi berbagai bunga pada saat bersamaan.

“kita sudah sampai. Buka matamu!”

Lucy membuka matanya perlahan, dan begitu dia sudah bisa melihat dengan jelas, dia kembali seperti orang bodoh. Terlalu terpesona pada pemandangan didepannya. Dia berdiri dijalan setapak, dimana, sisi kiri dan kanannya di tumbuhi pohon cemara dan berbagai jenis bunga. Bahkan bunga yang tidak pernah dilihatnya sekalipun. dia yakin, saat ini dia sudah tidak berada dikawasan tempat tinggalnya lagi. Tapi, Dia masih di bumi, kan?

“kita dimana?” tanya Lucy pelan. Dia menikmati pemandangan disekitarnya. Bahkan dia melihat pegunungan di sana. Dia juga mendengar suara nyanyian burung yang sudah lama tidak di dengarnya karena sudah terlalu lama hidup di kota metropolitan.
“ikuti aku. Maka kau akan tahu jawabannya.”
Sambil menggerutu, Lucy mengikuti laki-laki itu. “astaga! Aku bahkan tidak tahu namamu! Tapi kenapa aku mengikuti semua perintahmu?!”
Laki-laki itu tidak mejawab.
“hei! Siapa namau?”
“Kayley.”
Kayley berarti terang. Lucy membatin. Sayang sekali, namanya tidak sesuai dengan pemiliknya. Laki-laki bahkan selalu mengeluarkan aura kelam membuatnya takut.

Setelah 15 menit berjalan, Lucy merasa kakinya nyaris putus karena terlalu lelah. Dia tidak pernah berjalan sejauh ini. Apalagi kadang dia harus berlari untuk sejajar dengan langkah Kayley yang panjang. Mereka sudah keluar dari hutan sepuluh menit yang lalu. Pemandangan berikutnya digantikan dengan padang rumput yang luas, bahkan ujung tidak terlihat.

“itu gerbangnya.”

Lucy bangkit dari duduknya, lalu menatap ke arah yang ditunjuk Kayley. Dia dapat melihat gerbang kayu berwana cokelat tua. Gerbang itu ada dibawah bukit dan pasti membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai disana. Dia melihat lebih jauh dan dapat melihat bangunan besar yang tersembunyi di balik pohon-pohon yang tinggi. seperti kastil di cerita dongeng.

Lucy menunduk. Dia pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Gerbang kayu, kastil yang tersembunyi di balik pepohonan. Benar! Ayahnya pernah melukis pemandangan seperti dan sampai sekarang lukisan itu masih ada dan di pajang di ruang tamu rumahnya. Apa Ayah pernah kesini?

“Apa ayahku pernah kesini?” tanya Lucy saat mereka mulai menuruni bukit.
Kayley mengangkat bahu, tapi tak menjawab.
“Ayahku pernah melukis pemandangan ini. Bukit, gerbang kayu, lalu kastil yang tersembunyi di balik pohon itu.” Jelasnya. “tidak mungkin ayahku asal melukis karena semuanya benar-benar mirip.”

Begitu mereka tiba di depan gerbang itu, Lucy cukup terkejut mendapati bahwa gerbang itu tidak serendah yang dia kira. Bahkan jika dia naik kepundak Kayley, dia masih belum bisa memegang puncak gerbang itu. Dia melihat Kayley mengucapkan sesuatu dan gerbang itu pun terbuka.

Lagi-lagi Lucy terpana. Dia seperti baru memasuki sebuah perkampungan seperti di kartun-kartun jepang yang sering di tontonnya. Bahkan dia yakin mendengar suara sungai yang mengalir. Beberapa orang yang berselisih dengannya tersenyum ramah. Membuatnya nyaman. Membuatnya merasa seperti di tempat tinggal sendiri. Merasa bahwa dia memang berasal dari sini.

Kayley berbelok memasuki pekarangan sebuah rumah, Lucy mengetuknya. Dan hanya diam saat laki-laki itu mengetuk pintunya. Apa laki-laki itu akan menitipkannya pada pemilik rumah ini?

“Kayley, ini rumah siapa?”
“panggil aku Kay.”
Lucy mencibir. “baiklah. Jadi ini rumah sia—“
“astaga Kay!”

Seruang seorang wanita paruh baya memotong pertanyaann Lucy. Wanita itu terlihat sudah berumur. Wajahnya mulai keriput dan rambutnya memutih. Tapi hal itu tidak dapat menutupi kelembutan yang dimilikinya. Semua itu terlhat jelas di mata hitamnya yang mulai pudar karena usia. Mata hitam...tunggu! apa dia Ibu Kay?

“katakan padaku, kau baik-baik saja!: ujar wanita itu setelah melepas pelukannya.
“Aku baik-baik saja, Mom.”
Wanita mendesah lega. “lalu siapa gadis cantik ini? ‘gadis itu’?”
“Iya. Dia orangnya.” Sahut Kay malas.
“maaf, Bibi. Kau—“
“aku Astley.” Potongnya. “panggil aku Mom. Teman Kay, berarti anakku juga.”
“dia bukan temanku, Mom!” tukas Kay.
Lucy mencibir. Bagaimana mungkin orang selembut Astley punya anak menyebalkan seperti Kay? “jadi Bi—mom , kau mengenalku?”
Astley tersenyum. “tentu saja. Bahkan sebelum kita bertemu.”

oOoOoOoOo

Lucy nyaris tak bisa menutup mulutnya ketika Astley menuturkan semuanya. Di usianya yang hampir menginjak 17 tahun, dia baru tahu kalau Ayahnya seorang penyihir. Bukankah itu adalah fakta yang tidak masuk akal? Lagi pula, siapa yang akan percaya pada keberadaan penyihir? J.K Rowlling belum pernah kesini sebelumnya, kan?

Ia memijit kepalanya yang mulai berdenyut. Sepertinya otaknya tidak bisa menerima kenyataan yang terlalu tidak masuk akal ini. Ayahnya salah satu anggota dari beberapa penyihir terhebat di Akash Hill, lalu karena menikah dengan Ibunya, lahirlah dia sebagai satu-satunya penyihir berdarah campuran.

“jadi, dimana letak bahaya yang mengancamku?” sela Lucy tak mengerti.

Dunia sihir terbagi dua. Dunia putih dan dunia hitam. Akash Hill –dunia putih—dipimpin oleh Azura sedangkan Denwor Hill –dunia hitam—dikuasai oleh Darkey. Pada awalnya, Akash Hill dan Denwor Hill di pimpin oleh satu raja. Orangtua Azura dan Darkey. Namun, Darkey iri pada Azura karena orang tua mereka terlalu memanjakan adiknya itu, sehingga dia membunuh orang tuanya dan mengambil alih kepemimpinan atas Denwor Hill. Merasa belum cukup, Darkey berusaha untuk merebut wilayah Akash Hill yang dipimpin Azura semenjak orang tuanya meninggal. Dia ingin menjadi satu-satunya orang yang menguasai dunia sihr –Akash dan Denwor-- Tapi, kekuatan Darkey tidak sebesar itu. Dia tidak bisa mengalahkan Azura karena kedua orangtua mereka menurunkan kekuatan yang mereka miliki sepenuhnya pada Azura. Jika dia ingin menjadi satu-satunya penguasa, dia harus membunuh seorang penyihir berdarah campuran pada saat penyihir itu berusia 17 tahun. Azura tentu saja bahagia mendengar syarat itu, karena tidak ada penyihir berdarah campuran.

Hingga akhirnya, Dunia sihir mendengar kabar yang sangat mengejutkan hingga Azura sempat sakit mendenngar kabar tersebut, namun disisi lain Darkey telihat bahagia. Kelahiran penyihir berdarah campuran. Azura sempat marah karena yang melakukan kesalahan itu adalah anaknya sendiri.

“Ayahmu tahu rencana Darkey. Lalu dia menemui Darkey dan berduel tanpa persetujuan Azura. Seperti yang kita tahu, Ayahmu tidak berhasil. Seingatku saat itu kau berusia 10 tahun.”
Lucy mengangguk lemah. Sekarang dia tahu penyebab Ayahnya meninggal bukan karena kecelakaan pesawat seperti yang dikatakan Ibunya selama ini. “Tapi, usiaku baru akan 17 tahun 4 bulan lagi.”
“bodoh!”
“Kay!” tegur Astley. “Azura sengaja membawamu kesini agar Darkey tidak menemukanmu lebih dulu. Sehingga kau punya waktu untuk memperlajari sihir yang kau miliki.”
“apa?”
“selama ini, Darkey beserta orang-orangnya berusaha menemukanmu. Mereka hanya punya petunjuk nama Ayahmu. Asvathama.” Ujar Astley sabar. “meskipun di dunia manusia hanya kau yang memiliki nama belakang itu, mereka tetap tidak akan menemukanmu.”
“kenapa?”
“kalung yang kau pakai.”

Lucy meraba lehernya. Benar,disana ada kalung dengan tulisan Akash sebagai bandulnya. Dia masih ingat, dulu saat Ayahnya baru dikabarkan meniggal dia ingin membuka kalung itu , tapi ibunya melarang habis-habisan. Dan sekarang dia bersyukur karena tidak jadi melepaskan kalung itu.

“Lalu bagaimana Kay menemukanmu?”
“bukan hal yang mudah Lucy.” Ujar Astley.”Dia sudah mencarimu dua tahun.”
“jadi karena itu kau menanyakan nama lengkapku?” tanya Lucy pada Kay.
Kay tidak menjawab. Dia tersu menyantap makan malamnya.
“Kay memang pendiam.” Balas Astley. “besok Kay akan mengantarmu menghadap Ratu.”
“apa?!” protes Kay. “Mom, aku sudah menghabiskan tiga tahun usiaku di dunia manusia!”
Astley menggeleng. “Aku tidak peduli. Itu sudah tanggung jawabmu, kan? Harusnya kau sudah dewasa di umurmu yang ke-21.”

Lucy menatap Kay tak percaya. Kay? 21 tahun? Rasanya agak tidak masuk akal. Wajahnya masih terlalu muda untuk ukuran orang yang berusia 21 tahun.

“semoga besok aku berubah pikiran!” dengus Kay. “aku ingin tidur!” kay bangkit dari duduknya, lalu hilang dibalik pintu.
“Kay memang seperti itu. Dia masih belum bisa menerima keadaannya. Di usianya yang masih muda, dia sudah harus melindungi seseorang.”

Setiap keturunan Azura memang memilki pelindung masing-masing. Itu di karenakan Darkey selalu berusaha membunuh keturunan Azura dalam memulai aksinya untuk perebutan Akash Hill.  “Pelindung itu di tunjuk sendiri oleh Azura. Dan dia termasuk keturunan Azura yang berharga.

“wow!” Lucy berdecak kagum. “jadi, Kay adalah pelindungku?”
Astley mengangkat bahu. “Aku tidak begitu yakin. Tapi sejauh yang aku lihat begitu. Dia bertanggung jawab penuh pada keselamatanmu.” Ujarnya. “jika dia bukan pelindungmu, pasti bukan dia yang akan mencarimu di dunia manusia.”

Apa dia harus bahagia dilindungi oleh makhluk es seperti Kay?

oOoOoOoOoOo

“Amazing!”

Lucy tidak dapat menutupi kekagumannya pada kastil yang berdiri gagah di hadapannya. Sulit mendeskripsikannya dengan kata-kata, tapi yang penting kastil itu sangat megah. Seperti kastil-kastil yang ada di dunia dongeng. Dia merasa sangat beruntung bisa melihat kastil sebagus ini, apalagi dia juga salah bagian dari kastil ini. Dia anak Asvathama, dan Asvathama keturunan Azura. Benar, kan?

“selamat datang, Putri.”
Lucy terpaku ketika pengawal tampan did epannya memanggilnya putri. Tapi, Kay jauh lebih tampan.
“dia tak pantas di panggil Putri, Dean!” tukas Kay dengan suara dinginnya.
Laki-laki bernama Dean itu tersenyum. “Aku Dean. Salah satu pengawal kastil ini.”
Lucy menyambut uluran tangan Dean. “aku Lucy.”
“dia akan bertemu Ratu.” Ujar Kay. “lalu aku akan....”
“dia di taman.” Potong Dean sambil tersenyum penuh arti.
Kay tersenyum. “terima kasih!”

Lucy masih dalam keadaan syok saat Dean membawanya menuju tempat Azura. Dia telalu kaget melihat senyum Kay. Senyum pertama laki-laki itu. Dia jadi ingin melihat senyum laki-laki itu lagi.

“Kay ingin bertemu siapa?”
“Eileen. Dia sepupumu. Anak dari Ilana. Bibimu.” Jawab Dean. “Kurasa mereka berpacaran. Kau lihat senyum Kay? Laki-laki jarang sekali tersenyum.”

Eileen? Sepupunya? Berpacaran dengan Kay, benarkah? Kenapa aku harus peduli? Batin Lucy berontak. Tapi kenapa akutidak suka mendengar Kay berpacaran dengan gadis itu? Terdengar suara lain dipikirannya.

“itu Ratu!”

Suara rendah milik Dean membuatnya tersadar dan perdebatan anatar batin dan pikirannya berhenti seketika. Wanita yang sedang membelakanginya itu tiba-tiba berbalik membuatnya tersenyum kikuk.

“Hai, Azura!”
Dean menyikut Lucy. “panggil dia Ratu! Kau pikir, dia temanmu, hah?!”
Lucy tertunduk malu. “Maaf, Ratu. Aku—“
“Tidak apa. Panggil aku sesukamu.” Ujar Azura dengan suara keibuan yang membuatnya nyaman. “dan Dean, terima kasih karena sudah membawanya kesini.”
Dean mengangguk sopan, lalu meninggalkannya dan Azura.

Azura, meski wanita itu sudah sangat tua, dia masih terlihat sehat dan kuat. Seolah-olah hanya tubuhnya yang menunjukkan penuaan. Dia jadi penasaran berapa usia Azura sebenarnya.

“duduklah disini.”
Lucy menurut lalu duduk di samping Azura.
“Astley sudah menceritakan semuanya padamu, kan?”
Lucy mengangguk. “saat makan malam.”
“kuharap kau bisa menerimanya.”  Azura mengelus rambut Lucy penuh kasih sayang. “mulai besok, kau bisa melatih sihirmu bersama Kay.”
“dia pelindungku?”
Azura tersenyum. “aku ingin bilang tidak. Tapi dia memang pelindungmu.”
Lucy mendesah. “apa aku mempunyai sihir?”
Azura merenung. “Aku sedikit tidak mengerti. Kau adalah penyihir berdarah campuran, tapi kau mewarisi seluruh sihir yang dimilki Asva. Tidak masuk akal.”
“benarkah?”
“aku dapat merasakannya.” Jawab Azura. “dan, ada sesuatu yang tersimpan dalam dirimu. Sesuatu yang tidak dimilki penyihir manapun. Termasuk aku dan Darkey.”
“apa itu?”
“kau harus menemukannya sendiri!”

oOoOoOoOo

“bukan cutter fight, tapi cutter light! Luciana Asvathama!”

Lucy hanya bisa mendesah. Jika Kay sudah menyebut nama lengkapnya sekaligus, itu berarti laki-laki itu sudah habis kesabaran. Tinggal bersama laki-laki itu selama tiga bulan lebih, membuatnya memahami sikap laki-laki itu. Kay memang pendiam, tapi bisa jadi sangat menyeramkan saat dia sedang marah. Dan dia tidak menyukai fakta yang terkahir ini : Kay menyukai Eileen.

“waktumu kurang dari sebulan lagi, tapi kau masih seperti ini saja!” bentak Kay. “aku yakin, Darkey tidak perlu mengeluarkan sihirnya untuk membunuhmu!”
“aku sudah berusaha!” teriak Lucy mulai kesal. Laki-laki ini selalu menganggap remeh dirinya. “kau pikir, aku mau mati tanpa perlawanan? Lagi pula, bagaimana aku bisa berkonsentrasi sementara aku tahu, hari kematianku semakin dekat?! Aku bingung, kau tahu?! Aku sering berpikir untuk bunh diri, agar rencana Darkey tidak terwujud. Kemudian aku teringat keluargaku dan aku kembali mendapatkan semangat! Di detik selanjutnya aku kembali teringat Darkey. Begitu seterusnya hingga aku merasa kepalaku akan pecah!”
Kay langsung menarik Lucy dalam pelukannya. Perintah alam bawah sadarnya yang membuatnya bingun sendiri. Kenapa dia melakukan ini?
“Aku merindukan keluargaku!” erang Lucy dalam pelukan laki-laki itu. “aku belum ingin meninggalkan mereka. Aku masih ingin hidup. Hiks..hiks...”
Tangan Kay terangkat mengusap punggung Lucy dengan gerakan teratur. “everything is gonna be alright.”

Hari-hari berikutnya, Lucy lebih serius dalam berlatih. Dia berlatih dengan sungguh-sungguh dengan satu tekad. Membunuh Darkey. Azura menyuruhnya berlatih sihir bukan untuk membunuh Darkey. Melainkan untuk mempertahankan diri dari seranagn yan mungkin akan mengenainya. Tapi dia ingin membunuh laki-laki itu. Untuk dirinya sendiri dan untuk dunia sihir.

Tap, bahkan sudah sehari menjelang hari ulang tahunnya atau hari kematiannya, dia masih belum menemukan sesuatu yang spesial dalam dirinya. Sesautu yang tidak dimilki penyihir lain.

“tegang?”
Lucy menoleh, kemudian mengangguk. “tentu saja.”
Kay mendesah dramatis. “itu wajar. Memangnya siapa yang tidak tegang menunggu hari kematiannya?”
Lucy memukul lengan Kay kesal. “kau membuatku semakin takut!”
Kay tertawa, lalu mengacak puncak kepala Lucy.

Semenjak tiga minggu yang lalu, sikap Kay padanya mulai berubah. Kay lebih mengakrabkan diri, mengurangi sikap dinginnya. Hal itu membuat Lucy senang. Meskipun sudah empat bulan tidak bertemu keluarganya, dia tidak terlalu kesepian karena dia masih punya Azura, sepupu-sepupu yang menyenangkan, Astley juga Kay.

“bagaimana kalau besokk aku meninggal?”
“kau akan membuat Darkey menguasi Akash Hill.” Ujar Kay dengan santainya.
“maksudku bukan itu!”
Kay berdehem, lalu memandang ke langit yang kelam. “Azura akan menghapus ingatan tentangmu dari ingatan keluargamu, juga ingatan orang-orang yang megenalmu. Seolah-olah kau tidak pernah ada.”
“oh.” Ucap Lucy pelan. “menyedihkan sekali.”
“kau tenang saja. Everything is—“
“gonna be alright." Potong Lucy sambil tersenyum kecut.
“besok, aku akan melindungimu. Benar-benar melindungimu.”

Mereka terdiam. Menikmati hembusan angin musim panas yang menerpa wajah dan tubuh mereka. Menerbangkan pikiran-pikiran negatif yang bersarang dikepala masing-masing.

“aku teringat sesuatu.” Ujar Lucy memecah keheningan.
“apa?”
“namamu, Kayley, kan?”
Kay mengangguk. “lalu?”
“Kayley artinya terang, dan Luciana artinya cahaya. Bukankah kita terlihat cocok? Seperti sudah di takdirkan?”
Kay tertawa. “Seingatku, Eileen juga artinya cahaya. Benarkan?”
Senyum Lucy langsung lenyap seketika. “aku tidak tahu.”
“sekarang kau sudah tahu, kan?”
Lucy pura-pura menguap. “aku mengatuk!”
“tidurlah. Besok akan menjadi hari yang melelahkan.”

oOoOoOoOo

The Day of Death.

Lucy mencengkaram besi pembatas balkon kuat-kuat hinga buku-buku tangannya memutih. Dibawah sana, penyihir Akash Hill sedang berperang melawan pengikut Darkey. Sedangkan Darkey sendiri, hanya berdiri tenang di kejauhan. Sepertinya Azura memasang mantra pada Kastil sehingga Darkey tidak bisa masuk. Kilatan-kilatan cahaya dari tongkat sihir mewarnai halaman kasti. Suara-suara kesakitan dari penyihir yang terluka semakin memperkeruh suasana. Tidak dapa dipungkiri, penyihir Akash Hill semakin berkurang.

“Aku harus turun!” seru Edward.
“Edward, apa maksudmu? Itu bukan lapangan berlatih!” seru Azura tak setuju.
“kami tidak bisa diam saja!” bantah Robert. “semua orang sedang bertarung dibawah sana, termasuk orang tua kami. Menurutmu kami hanya diam disini?”

Lucy menatap sepupu-sepupunya yang sedang berdebat dengan Azura. Mereka semua benar. Semuanya sedang bertarung dibawah sana untuk melindunginya sedangkan dia hanya beridam diri. Lalu apa gunanya dia melatih ilmu sihirnya selama ini? Dia tahu, hanya dia yang bisa menghentikannya. Dialah yang dicari Darkey. Bukan Edward, Robert, Peter, Daniel, atau siapapun.

“aku yang akan turun!” ujar Lucy, menghentikan perdebatan yang masih berlangsung. “bukan Edward, Peter atau siapapun.”
“kau tidak boleh turun!” ujar Azura tegas. “aku yang akan turun lalu menghadapi Darkey.”
Lucy menggeleng. “termasuk kau, Azura. Hanya aku yang akan menghentikan semuanya. Akulah yang dicari Darkey dan aku yang akan menghadapinya.” Ujarnya yakin. “aku pasti berhasil. Percaya padaku!”
“aku akan ikut turun.” Kay buka suara.
“kau tidak—“
“aku pelindungmu, ingat?” potong Kay.

Lucy mengeratkan cengkramannya pada tongkat sihirnya. Saat ini dia sudah berada dihalaman kastil, dan di depan sana pertarungan masih berlangsung, membuat jantungnya berdetak tak karuan. Bersama Kay, dia berjalan melewati orang-orang yang sedang bertarung itu, yang anehnya tidak memperhatikan mereka sama sekali. Hingga akhirnya mereka berdiri di depan kolam air mancur yang erada tepat di tengah kastil.

“Aspida!”

Semua terjadi begitu cepat. Belum sampai sedetik dia menatap patung pancuran didepannya, detik berikutnya dia mendengar Kay meneriakkan matra parisai disusul denganbunyi ledakan dan patung dihadapannya hancur. Untungnya, bongkahan-bongkahan patung itu tidak mengenainya dan Kay sama sekali.

“kau harus fokus, Lucy!” teriak Kay. “kita sedang dilapangan, bukan berlatih! Lengah sedetik saja, kau bisa mati!”

Begitu dia menghadap kedepan, dia langsung berhadapan dengan mata gelap milik Darkey. Dia memang terlihat lebih tua dari Azura dan aura yang dimilki benar-benar gelap. Membuat semuanya semakin mencekam. Disamping Darkey berdiri seseorang yang lebih muda dari laki-laki itu. Mungkin anaknya atau siapapun dia tidak peduli.

“Senang akhirnya bisa bertemu, Luciana Asvathama!” ujarnya dengan suara berat yang menyeramkan.
Lucy hanya membalasnya dengan senyum tipis, tapi terkesan dingin.

Hingga Beberapa detik berlalu mereka hanya saling tatap. Mengabaikan pertarungan yang masih berlangsung di sekeliling mereka.

“xifos!” teriak Kay.
“xifos!” laki-laki disamping Darkey mematahkan matra Kay.

Lalu, tanpa perintah merek aberdua memisahkan diri, meninggalkannya dan Darkey yang hanya terpisah jarak lima meter.